Latest Tweets

banner image

footer social

banner image

Count With/on Textiles: Perpaduan Matematika dan Budaya pada Sistem Pembelajaran Sekolah Dasar di Swedia



Tulisan ini berlandaskan hasil diskusi dengan Susanne Björkdahl Ordell, kepala proyek Count With/onTextiles di Hogskolan i Borås- Swedia, dan juga dari artikelnya yang berjudul Count With/ on Textiles: Children’s learning at the meeting point between practical work and theoretical understanding.
Budaya dan Pendidikan
Budaya adalah pikiran, akal budi, hasil, adat istiadat, bahasa, jiwa, kebiasaan. Setidaknya itulah definisi budaya yang tertuang dalam KBBI. Dari definisi tersebut, dapat terlihat dengan jelas bahwa budaya bukanlah sekedarpopular culture berupa nyanyian, tarian, makanan, upacara ataupun segala bentuk adat istiadat lainnya. Namun budaya adalah bagaimana cara manusia bertingkah laku, yang terus diulang dan menjadi kebiasaan, yang merupakan hasil dari akal budi dan pikiran yang tertanam pada jiwanya. Mengingat definisi tersebut, sudah seharusnya budaya berdiri bersama pendidikan. Untuk membentuk akal budi dan pikiran yang baik.
Isu mengenai budaya dan pendidikan tentu merupakan hal yang menarik.Terlebih bagi kita sebagai bangsa Indonesia yang kaya akan budaya dan dalam perdebatan tiada henti tentang bagaimana sistem pendidikan yang baik. Cukup sedih jika mengingat pada masa Kabinet Indonesia Bersatu. Budaya dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdiknas) sempat dipisahkan dari pendidikan dengan membentuk Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), dan hanya dianggap sebagai komoditas parawisata dengan disatukan dalam Kementerian Budaya dan Pariwisata (Kemenbudpar). Untunglah dalam masa Kabinet Indonesia Bersatu II pemerintah telah kembali sadar bahwa sejatinyalah pendidikan harus terintegrasi bersama kebudayaan. Dan Kemendiknas kembali menjadi Kemendikbud.Semoga perubahan tersebut bukan hanya sekedar pergantian nama.
Sekilas Tentang Borås
Kota Borås, Swedia terkenal dengan sejarahnya yang berhubungan dengan tekstile. Karena dahulu, Borås didirikan oleh King Gustav II pada 1621 untuk meningkatkan perdagangan di countryside(daerah luar kota/pedesaan). Tekstil dan kerajinan kayu (woodwork) adalah komoditas yang terkenal di kota Borås saat itu.  Hingga saat ini, Borås masih tetap dikenal sebagai kota tekstil.Program studi tekstil di Hogskolan I Borås dan juga museum tekstil yang berdiri di kota ini semakin menegaskan bahwa Borås tak lupa sejarah dan kekayaan budayanya. Banyak pelajar dari berbagai penjuru dunia datang ke Hogskolan I Borås untuk mempelajari tekstil. Hal ini terlihat dari peminat mahasiswa internasional yang mengambil bidang tekstil di universitas ini.
Dalam pidato Rektor saat menyambut kedatangan mahasiswa internasional program spring di Hogskolan i Borås, Björn mengatakan bahwa tekstil adalah salah satu dari tujuh research map di tahun 2012. Borås yang juga terkenal sebagai kota dengan sistem pengelolaan sampah yang baik juga mengkombinasikan tekstil dengan studi lingkungan. Hal ini terlihat dari salah satu poster yang dipajang dalam lorong dekat lobi utama tentang bagaimana cara mengolah limbah celana jeans menjadi energi bahan bakar. Hogskolan i Borås-pun mengembangkan proyek yang mengkombinasikan tekstil dengan pelajaran di sekolah melalui proyek count with/on textiles.
Count with/on Textiles
Secara garis besar, proyek count with/ontextile merupakan sebuah proyek yang memadukan antara nilai sejarah budaya kota Borås (dengan kekayaan tekstilnya) dan matematika. Pelajaran matematika yang sering dianggap terlalu teoritis dibawa ke ranah praktik melalui proyek pembuatan hasil tekstil (menenun, menjahit, menyulam, dan lainnya).
Sesederhana itu? Tidak. Ada banyak nilai budaya yang mereka masukan dalam proyek tersebut yang akan saya jabarkan dalam alinea di bawah ini.
Latar belakang pembuatan proyek
proyek didasari pada dugaan pemerhati pendidikan bahwa proses pembelajaran matematika seringkali terlalu teoritis dan abstrak, terutama bagi anak-anak. Proyek ini bertujuan untuk menstimulasi proses kreativitas, problem solving, dan fantasi melalui textile activities. Kedua, berlandaskan pada nilai kesetaraan gender (gender equality) sebagai salah satu nilai yang dianut masyarakat Swedia,proyek ini juga bertujuan untuk memasukan nilai tersebut. Selama ini dalam rangka mempromosikan kesetaraan gender, sering kali yang terjadi adalah anak perempuan diberikan fasilitas dan kesempatan untuk memasuki dunia anak laki-laki namun tidak sebaliknya. Ketiga, berangkat dari kekhawatiran akan persepsi masyarakat, dan bahkan pemerintah, bahwa mata pelajaran budaya, seni rupa, dan kerajinan tangan seringkali dianggap bukan sebagai mata pelajaran utama. Proyek ini berusaha memadukan nilai sejarah dan kekayaan budaya dengan mata pelajaran utama yang ’digilai’ masyarakat abad ini-matematika. Dengan cara tersebut, diharapkan agar proyek ini dianggap sebagai hal yang penting dan menghasilkan output yang bagus. Keempat, proyek ini juga mengusung sistem pendidikan yang tidak lagi terpusat pada guru (teacher centered) di mana guru menjadi pusat ilmu dengan berceramah di depan kelas. Equality di negara Swedia juga terjadi pada seluruh aspek masyarkaat. Guru dan muridpun harus setara. Maka dari itu, sistem pendidikanpun diarahkan ke student centered melalui serangkaian aktivitas dan guru hanya menjadi fasilitator. Proyek ini memerlukan banyak aktivitas praktik dari murid baik secara individual ataupun kelompok agar mereka memetik pemahaman dari proses reality work dan juga konseptual.
Penerapan proyek
Proyek ini diterapkan pada murid-murid sekolah dasar kelas. Pada tahap awal, guru mengajarkan teknik-teknik dasar menjahit, menyulam dan menenun. Namun setelah murid menguasai teknik dasar tersebut, guru membebaskan murid menggunakan free techinque untuk menstimulasi kreativitas pada diri mereka. Murid-murid ditantang untuk membuat hasil tekstil yang berkaitan dengan sudut-sudut, kotak, segitiga, pola-pola geometri yang semuanya berhubungan dengan proses logika matematika.
Proyek ini tidak sekedar mengajak murid untuk menjahit di selembar kain di kelas lalu membuang hasil karya di tong sampah dan melupakannya. Proyek ini menganjurkan anak-anak membuat hasil karya yang bisa mereka gunakan atau mereka pajang, seperti sapu tangan, tas, dan bed cover. Berkaitan dengan pembuatan tas,terdapat proses berpikir tiga dimensi yang dilibatkan. Murid-murid merancang abstraksi pola bentuk tas yang mereka inginkan, dan guru membantunya. Kemudian mereka menerjemahkan pola tersebut menjadi benda konkrit. Suatu proses pembelajaran yang baik bagi seorang anak untukmenerjemahkan konsep abstrak atau teoritis ke dalam praktik.
Proyek inipun dijalankan dalam bentuk kelompok. Contohnya dalam membuat bed cover dan sarung bantal. Proyek ini diawali dengan setiap anak membuat jaitan bebas pada selembar kain berbentuk kotak, setelah itu setiap jaitan anak dalam kain berbentuk kotak disatukan menjadi sebuah bed cover. Beberapa kelompok anakpun ada yang membuat jaitan membentuk pola-pola planet di alam semesta yang tentunya menstimulasi pengetahuan mereka. Proyek ini dibuat dalam berkelompok juga dalam tujuan untuk menciptakan proses belajar sosial melalui interaksi. Suatu proses penting dalam masa pertumbuhan anak.

Gambar 1. Bed cover dari kain-kain kotak individual

Gambar 2. Sarung bantal "alam semesta" dari kain pola segitiga

Gambar 3. Detail jahita berbentuk planet saturnus
Pada tahap terakhir, hal yang tidak boleh dilupakan adalah menanyakan kepada anak-anak tentang apa yang telah mereka pelajari dari proses tersebut. Tahap ini sangat baik untuk mereka dalam memaknai apa yang telah dikerjakan sehingga lebih bernilai pada diri anak. Terkadang, murid-muridpun ditugasi untuk menceritakannya dalam bentuk tulisan. Hal ini bertujuan untuk melatih kemampuan berbahasa mereka.
Hasil
Hasil yang didapat dari proyek ini sangat beragam untuk anak.  Mereka bisamengekspresikan diri melalui berbagai media. Mereka mampu menerjemahkan model abstraksike dalam bentuk nyata melalui praktik dan sebaliknya. Kemampuan sosial anak-anak menjadi lebih baik. Kemampuan motorik halus semakin berkembang. Kemampuan berbahasapun turut berkembang saat proses penulisan laporan.
Setelah proyek ini selesai. Karya tersebut tidak sekedar dikumpulkan di kantor guru atau pun dibawa pulang anak-anak. Namun karya mereka dipamerkan di museum tekstil kota Borås. Para orangtua dan kerabat tentu mendapatkan udangan untuk ke acara ini. Pameran ini sangat baik untuk meningkatkan perasaan kepercayaan diri anak. Mereka akan merasa telah bisa menciptakan sesuatu dan hasil ciptaan mereka di apresiasi oleh keluarga dan guru yang semakin meningkatkan kepercayaan diri mereka. Kepercayaan diri ini merupakan hal yang penting dan perlu ada pada diri anak-anak agar mereka mau lebih mengeksplorasi lagi pengetahuan.

Penutup
Sedikit keluar dari tema tulisan ini. Sebenarnya selain proyek count with/on textil, beberapa sekolah di Swedia juga menerapkan pembelajaran berbasis woodwork atau bisa kita beri namacount on/with furniture. Karena sejarah kota mereka berhubungan dengan pekerjaan kayu. Namun sekali lagi, mereka mengkombinasikan furniture tersebut dengan matematika. Anak-anak SD dan SMP diajari bagaimana caranya membuat kursi, meja, dan beragam mebellain yang membutuhkan proses penghitungan luas dan volume. Juga melibatkan aspek motorik seperti halnya dalam proses menjahit. Dalam proses membuat mebel ini,nilai kesetaraan gender terjadi karena anak-anak perempuan akan memasuki dunia maskulin seperti menggergaji kayu ataupun menggunakan mesin potong.
Dari kacamata saya, Swedia benar-benar berusaha mengkombinasikan nilai budaya dan aspek pendidikan. Saya berandai proses baik apa yang bisa kita tiru untuk diterapkan di Indonesia? Memadukan batik dengan sejarah? Sejarah dengan drama? Batik dengan matematika? Tarian dan olahraga? Geografi dengan model batik? Olahraga dengan permainan tradisional? Budaya sopan santun dengan bahasa Indonesia? Nilai rendah hati dengan fisika? Nilai gotong royong dengan olahraga?
Semoga kedepan kita bisa membuat suatu perubahan yang lebih baik untuk sistem pendidikan di Indonesia.

Borås, 5 Mei 2013
Regismachdy

Count With/on Textiles: Perpaduan Matematika dan Budaya pada Sistem Pembelajaran Sekolah Dasar di Swedia Count With/on Textiles: Perpaduan Matematika dan Budaya pada Sistem Pembelajaran Sekolah Dasar di Swedia Reviewed by regismachdy on May 09, 2013 Rating: 5

3 comments:

regismachdy said...

Mbak Anjar, coba post lewat web, jangan dari HP. mungkin bisa?

Unknown said...

Waah lanjutkan Giss.. tulisan macam gini simpel,tapi sangat mengena bangeet..tulisannya ringan dibaca lagi..
coba yaa di tempat kita macem begituu #jadi #ngiri
btw itu sebenarnya kalo dipikir2 bisa lohh di tempat kita memaduka permainan tradisional dg pengenalan peraturan.. pernah kenal dengan "jagoan lalu lintas"?

regismachdy said...

Proyeknya Mbak Dias kah?
iya... doakan aku jadi menteri pendidikan ya :P (amiiiin)

textile mbak! textil kita kan luar biasa banget, BATIK! tapi kenapa cuma jadi pelajaran asal2an...

dan yang aku bingung kenapa di Indo gak ada jurusan textile (ada sih 1 di UNY). tapi masa cuma 1?

lah gimana batik kita mau dikembangkan?

di Eropa jurusan textil itu luar biasaaaa banyaknya

Powered by Blogger.