Pemahaman Baru tentang Dunia Akademik: Pengalaman Menjadi Exchange Student di Hogskolan I Borås, Swedia
Dari
sisi peringkat, mungkin Hogskolan I Borås, Swedia tidak ada apa-apanya
dibandingkan Universitas Gadjah Mada. Namun bagaimanapun, saya belajar banyak
hal dan memetik ilmu baru yang saya yakin sulit didapatkan jika saya tidak
mendapatkan kesempatan program pertukaran di sini.
Hal
pertama yang membuat saya terpukau pada Universitas ini adalah Pidato Rektor
Hogskolan I Boras pada saat pembukaan ”Ospek” International Student. Beliau
menjelaskan research map
Universitasnya.
1) Pengelolaan
sampah: saya menyadari bahwa Swedia adalah negara yang sangat bagus dalam
mengelola sampah. Zero waste system, mereka
mengimpor sampah untuk diolah. Borås adalah yang paling unggul dalam sistem
persampahannya. Ketika saya berdiskusi dengan seorang Ph.D student Indonesia di bidang persampahan,
beliau berkata bahwa hampir 25%
suplai listrik kota Borås berasal dari pemanfaatan energi sampah.
2) Pendidikan Inklusi:
Saya menyadari bahwa tidak mungkin ada orang difabel yang tidak bisa mengakses
kampus ini. Toilet, lift, buku, tangga, perpustakaan, ruang kelas, dan bahkan
terdapat student ombudsman untuk
ruang siswa difabel mengeluh jika mereka merasa kurang difasilitasi.
3) Tekstil: Borås
adalah kota tekstil. Kampus ini nampaknya menyumbang peranan besar dalam
mempertahankan keunggulannya tersebut. Terkait dengan fokus riset mereka pada
nomor satu, bahkan saya melihat sebuah poster tentang pengelolaan limbah celana
blue jeans menjadi bahan bakar mobil!
4) Pre-hospital:
Di setiap sudut ruangan terdapat kotak P3K dan panduan first aid.
Sebenarnya masih ada beberapa fokus penelitian yang lain,
namun atas semuanya, saya menyadari bahwa universitas dan kota saling
menghidupi. Saling melengkapi. Secara general, fokus riset mereka tidak banyak.
Tidak sampai sepuluh. Namun semuanya terasa dalam kehidupan sehari-hari.
Sekecil apapun itu. Dalam hati saya bertanya: Apakah riset-riset di UGM sudah teraplikasikan semua?
Hal
kedua yang saya sangat kagumi adalah kerjasama antara Academic, Industry/Bussiness,
dan Government (ABG), atau mungkin lebih dikenal dengan konsep Triple-helix, nampaknya benar-benar
terasa. Sebagai contoh, peneliti/dosen tidak perlu repot-repot mencari dana
sendiri seperti di Indonesia. Dana berasal dari perusahaan dan hasil riset langsung
dimanfaatkan sehingga perusahaan semakin inovatif karena hasil temuan riset
tersebut. Terakhir, masyarakat bisa merasakan dampak dari penelitian tersebut.
Hal yang ingin saya tekankan dari paragraf ini adalah hasil penelitian tidak
sekedar diterbitkan dalam jurnal ilmiah dan kemudian disitasi oleh mahasiswa.
Hasil penelitian benar-benar menjadi sebuah kebermanfaatan untuk masyarakat. Kemudian
saya teringat Indonesia dan bertanya:
apakah perusahaan di Indonesia hanya sebagai penjual dan bukan pencipta barang
berlandaskan hasil riset?
Hal
ketiga yang saya kagumi dari Swedia adalah keteraturan.
Baik dari personal maupun sistem. Kita mulai dari sistem. Transportasi, semua bus kota terjadwal dengan
baik. Kita tak perlu lama menunggu dan membuang waktu. Semua tersedia secara
online beserta keterangan waktu dan harga tiketnya. Sistem pengelolaan sampah
yang luar biasa hebat. Dari sisi personal, meskipun dalam kelas mahasiswa dibebaskan
membawa makanan dan minuman, tetapi setelah kelas usai, tak pernah saya melihat
satu helaipun sampah disini. Semua bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Apakah kita bisa diberi kebebasan seperti
itu di kelas?
Hal
keempat, keberanian. mahasiswa di
Swedia sama seperti mahasiswa di Indonesia. Kita semua manusia. Namun yang
membedakan kita adalah pada keberanian. Di kelas semua orang bebas berpendapat.
Tak peduli salah, didebat, berbicara teoritis ataupun common sense, semua berpedapat tanpa ragu. Mereka menyampaikan apa yang ada di
pikiran. Tak seperti kita yang menahan semua dalam kepala. Takut, malu, takut dicibir, dianggap mencari perhatian Dosen.
Di sini, keaktifan tidak menjadi penialian layaknya di Indonesia sehingga semua
bebas berbicara kapan saja tanpa ada tendensi demi nilai baik atau tidak. Saya
kembali merefleksikan pada Indonesia, apakah
karena ada hierarchy atau faktor budaya yang membuat kita tidak berani berpikir
kritis dan berargumen?
Sejauh
ini, empat hal tersebutlah yang saya pelajari dari Negara Skandinavia ini.
Semua yang tertuliskan di atas belum tentu benar adanya. Saya menjumput pidato
rektor, perbincangan dengan dosen, diskusi Ph.D Student asal indonesia, dan juga dari seminar saat PPI Swedia
berkumpul di ibu kota Stockholm. Jika berkaca pada teori ”Culture Shock” yang
diproposisikan oleh Oberg dan Ward, mungkin sekarang saya masih dalam fase honeymoon. Saya masih pada tahap menikmati
semua keindahan yang ada di Borås dan mengaggumi semua keteraturan yang tidak
ada di Indonesia. Namun di saat yang bersamaan, sayapun menjadi sangat bangga
dengan UGM. Dengan filosofi pendidikan yang melibatkan pengabdian masyarakat
(contoh: KKN), juga keterlibatan mahasiswa dalam dunia riset. Saya tidak bisa
membayangkan akan seluar biasa apa Indonesia nanti, atau melalui UGM, jika kita
punya sistem dan teknologi yang bagus seperti di Swedia dan juga mempunyai mental
yang berani, disiplin, dan bertanggung jawab.
18 Maret 2013, Borås, Swedia
Regismachdy
Pemahaman Baru tentang Dunia Akademik: Pengalaman Menjadi Exchange Student di Hogskolan I Borås, Swedia
Reviewed by regismachdy
on
May 06, 2013
Rating:
No comments:
Post a Comment