Latest Tweets

banner image

footer social

banner image

Mengapa Kami Memilih Bunuh Diri: Ajakan untuk memahami Depresi





Teruntuk kalian yang tidak pernah terpikir mengapa seseorang mengakhiri hidupnya, mari kita berempati pada jalan yang mereka pilih. Kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang ada di hati dan pikiran seseorang. Kita pun tak pernah tahu apa-apa saja yang pernah dialami seseorang hingga mereka memilih bunuh diri sebagai pilihan terakhir.


Saya pribadi pernah mendekati percobaan bunuh diri beberapa bulan lalu. Saya didiagnosis dengan dysthymia[1] (mild chronic depression) dan dua kali episode depresi mayor[2]. Episode kedua depresi saya dipenuhi pikiran bunuh diri (suicidal thoughts[3]). Saya hampir melakukannya dan sudah menyiapkan segala peralatan yang saya butuhkan untuk mengakhiri hidup saya. Hari itu, saya sudah selesai mengetik semua surat perpisahan yang ingin saya sampaikan kepada keluarga dan sahabat-sahabat saya. Langkah berikutnya adalah mengakhiri nyawa saya. Namun semesta belum mengizinkan hidup saya berakhir. Seorang kawan lama, yang kebetulan seorang psikolog, tiba-tiba mengontak saya melalui whatsapp, dan entah mengapa saya membalasnya. Percakapan teks berpindah menjadi perbincangan melalui telepon di mana saya hanya menangis selama satu jam dan menceritakan bahwa saya sudah hampir mengakhiri hidup saya sendiri. Singkat cerita, saya tidak jadi melakukannya.


Saya paham bagaimana rasanya sudah tidak ingin hidup lagi. Karena sejujurnya, saya sudah memiliki ide bunuh diri sejak saya berusia 12 tahun. Namun pikiran-pikiran itu belum pernah menjadi ide yang solid. 12 tahun kemudian, ketika usia saya 24 tahun dan saya terserang episode depresi klinis yang kedua. Pikiran dan keinginan saya untuk selesai dari kehidupan berubah menjadi rencana matang untuk mengakhiri hidup saya.


Beberapa hari belakangan media internasional dihebohkan dengan kasus dugaan bunuh diri vokalis Linkin Park. Saya pribadi tidak begitu mengikuti musik rock alternatif seperti Linkin Park, dan saya pun tidak pernah tahu nama Chester. Tapi kematiannya, membuat saya menelusuri sedikit lebih dalam tentang cerita masa kecil Chester[4].


Dia berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Ayah dan ibunya bercerai pada saat ia berusia 11 tahun. Ia pernah dilecehkan secara seksual dan dianiaya ketika ia masih kecil. Ia pun pernah menjadi pengguna narkoba dan memiliki ketergantungan terhadap alkohol. Ia juga bergelut dengan depresinya dan suicidal thoughts[5]. Saya tidak memiliki latar belakang cerita seberat apa yang dialami oleh Chester. Dan mungkin di luar sana masih ada orang-orang yang memiliki masa kecil yang jauh lebih mengenaskan. Tetapi kita tidak bisa membandingkan beban yang dipikul setiap orang. Karena memang ada orang-orang yang terlahir dengan kecenderungan lebih rentan terhadap permasalah psikologis. Satu hal yang bisa saya pahami, saya dan Chester sama-sama memiliki kecendrungan itu dalam badan kami, dalam genetika kami. Dan saya memahami bagaimana beratnya hari-hari dengan depresi dan bagaimana hidup dengan pikiran bunuh diri.


Mungkin kalian yang tidak pernah mengalami depresi klinis tidak akan paham. Tetapi jika boleh saya katakan, ketika depresi klinis menyerang seseorang, pandangan kami dibutakan oleh segala pesimisme akan masa depan. Kami sudah tidak melihat lagi ada kebaikan yang akan menyapa hidup kami. Beban emosi yang kami tanggung rasanya sangat berat hingga beberapa dari kami menyayat-nyayat tubuh sendiri untuk memindahkan rasa sakit yang di emosi ke fisik kami. Saya pribadi tidak menggunakan self-cutting[6] sebagai cara bertahan. Namun ada masa-masa di mana saya menampar diri saya berkali-kali dan membenturkan kepala saya ke tembok untuk mengurangi pusing akut yang saya alami setiap kali mood saya berantakan.




Kami memikirkan bunuh diri bukan sebagai pilihan dadakan. Sebagian dari kami sudah memikirkannya berminggu-minggu, atau bahkan bertahun-tahun. Kami sudah mencoba bertahan sebisa kami dengan penyakit yang kami alami. Sebagian dari kami memiliki depresi karena kami memiliki masa kecil yang kurang menyenangkan. Kami menjadi korban bullying, kami dari keluarga yang tidak harmonis, kami memiliki trauma yang tidak pernah kami ceritakan. Kami hanya tampil kuat di depan kalian, karena kami tak ingin ada yang tau luka yang kami simpan.


Pada kasus bunuh diri Chester, saya berduka dan juga berbahagia. Saya berduka karena kita kehilangan lagi satu jiwa dari bumi ini. Namun saya juga berbahagia karena masih menemukan komentar-komentar di berbagai social media yang masih menunjukan respek terhadap mendiang Chester. Komentar-komentar negatif seperti “pengecut” “bodoh" dan “nanti disiksa Tuhan di neraka” masih saja bermunculan. Tetapi banyak juga komentar-komentar yang lebih santun dan dan beradab. Tidak sedikit juga orang-orang yang mulai menanggapi komentar dengan penjelasan mengenai depresi dan gangguan jiwa lainnya. Mungkin ragam komentar ini muncul karena Chester adalah seorang public figur? Bagaimana jika yang melakukan kasus bunuh diri adalah saya, atau orang-orang biasa seperti kasus Pahingar Indrawar gantung diri live[7] yang cukup heboh beberapa bulan lalu? Coba saja telusuri komentar-komentar netizen di berbagai media. Komentarnya cukup sarkas dan tidak beradab. Pasti membuat sedih sanak keluarga yang ditinggal.


Saya hanya ingin mengajak pembaca tulisan ini untuk bisa lebih berempati. Bahwa orang-orang yang memilih bunuh diri juga sudah berjuang cukup panjang dengan pikirannya. Bahwa setiap hari, kami yang memiliki gangguan jiwa diserang dengan berbagai pikiran negatif dan kebencian akan diri sendiri. Kami merasa tidak berharga sebagai manusia. Kami merasa lelah untuk melanjutkan hidup. Kami merasa tidak punya harapan. Percayalah, segala cara sudah kami coba. Dari mulai berdoa hingga berobat ke psikiater. Tetapi depresi dan pikiran bunuh diri adalah kasus yang kompleks. Kami memliki luka yang kami bawa dari masa kecil, kami memiliki inner self critique yang sangat banyak, kami memiliki trust issues yang sangat besar sehingga tidak berani bercerita kepada siapapun, hormon serotonin[8] di otak kami macet, amygdala[9] di otak kami lebih kecil daripada kebanyakan orang. Depresi kami bukan karena kami lemah, tapi karena aspek bio-psiko-sosial yang membuat kami lebih rentan terhadap depresi. Dan juga karena kalian, masyarakat, yang memperparah semuanya dengan stigma bahwa depresi hanyalah masalah kepribadian semata. Yang menghalangi kami untuk mencari pertolongan profesional dari psikolog atau psikiater.


Depresi adalah penyakit yang nyata. Depresi akan menjadi penyakit utama[10] di dunia yang menyebabkan berbagai gangguan fisik dan kematian dini hingga 2030 nanti. 1 dari 4[11] orang akan terkena gangguan jiwa setidaknya sekali dalam fase hidupnya. Mari, kita lebih berempati. Bisa saja, orang-orang di sekitar kita memiliki depresi dalam diamnya. Bisa saja, orang-orang terdekat kita memikirkan cara bunuh diri dibalik senyum cerianya.

Semoga kita mampu lebih berempati dan peka.


Semoga semua makhluk berbahagia


Salam

Penulis:
Regisda Machdy Fuadhy
- Alumni Fakultas Psikologi UGM
- Sedang menempuh studi Msc Global Mental Health di University of Glasgow
- Cofounder pijarpsikologi.org


-------------------------------------------------------------------------------
JIKA ANDA MEMILIKI KEINGINAN BUNUH DIRI ATAU DEPRESI, segera cari pertolongan profesional (Psikolog dan atau psikiater).

Jika Anda berada di Indonesia:
-Hubungi Hotline suicide Depkes: 500 454
-Kunjungi Puskesmas terdekat bagi yang berdomisili di Yogyakarta
-Kunjungi Fakultas Psikologi Terdekat di kota Anda dan tanyakan -layanan psikologi yang disediakan
-Kunjungi rumah sakit terdekat dan tanyakan layanan kesehatan mental

Jika Anda berada di UK
-Samaritans: 116 123 (UK)

-Breathing space: 0800 83 85 87

-Atau kunjungi GP (general practioner di sekitar Anda)

Jika Anda berada di US
-Suicide helpline 1-800-273-8255

Jika Anda berada di Australia
-Lifeline: 13 11 14


Jika Anda pelajar Indonesia yang berada di luar negeri, manfaatkanlah layanan kesehatan mental gratis di kampus Anda.


Bantuan Online (bukan darurat)
Bahasa Indonesia:
www.pijarpsikologi.org
www.Saveyourselves.org
Into the light

Bahasa Inggris
7cups.com


Sumber:  




Teruntuk kalian yang sedang berjuang dengan pikiran depresi dan bunuh diri. Stay strong!! I've been there. Believe me, depression is a liar. If you are able to survive, you'll find the beauty in life!




P.s: Terdapat juga isu bahwa Chester Bennington dan Chris Cornell dibunuh karena menginvestigasi jaringan perdagangan anak. Berita dapat diilhat di http://yournewswire.com/chester-bennington-murdered/

Namun di luar semua isu yang beredar (entah mana yang hoax dan mana yang benar), artikel ini saya tulis dengan tujuan untuk mengedukasi masyarakat Indonesia akan pentingnya peduli kesehatan jiwa.
Mengapa Kami Memilih Bunuh Diri: Ajakan untuk memahami Depresi Mengapa Kami Memilih Bunuh Diri: Ajakan untuk memahami Depresi Reviewed by regismachdy on July 21, 2017 Rating: 5

9 comments:

Utamiiiptr said...

Jika depresi adalah penyakit, maka apakah yang dipikirkan nya salah? Apakah bunuh diri bisa jadi solusi untuk orang yang depresi?

Unknown said...

Many thanks for your thoughtful inspirational writing. Let us support each other. I believe that every good deed you've done to us will surely bring positive impact to your health and well-being as well. Much appreciate!

regismachdy said...

Matahari Semi:
Maka dari itu dibutuhkan psikoterapi dan obat :)
Bunuh diri bukan solusi, jika Anda membaca ulang postingan saya, yang saya maksud adalah mari jangan menghina orang yang depresi dan bunuh diri. Mereka pun juga berjuang. dan bantulan orang yang masih hidup namun memiliki depresi agar ia tidak bunuh diri.

Mba Monika:
Makasih banyak mbaaaa

Unknown said...

Isinya sesuai dng saya. Saya jg selalu ingin bunuh diri dari kecil skrg sdh 38 tahun & keinginan itu tetap ada. Kl lg happy keinginannya kecil, kl lg tdk happy keinginannya makin besar.
Banyak yg saya lalukan utk menyakiti diri mulai memukul diri, mengikat leher dng tali, menggunting rambut, meminum obat penahan rasa sakit sampe 20 tablet, minum sabun cuci piring, yg saya plg suka menggunting kuku sampe berdarah. Rasanya bahagia banget kl liat sampe berdarah.
Kl ditanya knp saya ingin bunuh diri, sy sdh gak bisa ingat lg tp rasa itu selalu ada walau lg ngobrol.
Sy tahu bunuh diri itu bkn solusi atau sy akan masuk neraka kl bunuh diri.tp tetap saja sy ingin. Mungkin krn tau gak boleh, maka bunuh dirinya nanggung. Coba kl gak tau mungkin sy punya keberanian lbh tuk bunuh diri, gak kaya skrg cuma dibayangkan or dlm mimpi aja.
Sy tdk pernah berobat ke dokter, krn kata mama cuma org gila yg pergi ke psikater.

Utamiiiptr said...

Ka Regis : gmna caranya bantu mereka yg sedang depresi dan ingin bunuh diri, kak?

Ka Vera : wah kak Vera pernah juga? gmna sih kak rasanya setelah melukai diri sendiri? Ada ga sih penyesalan setelah itu? Maaf aku penasaran, but actually semangat terus kak untuk ga melakukan hal negatif.

Unknown said...

Kalau mama saya kalau sedang putus asa suka dengan gampang bilang mau bunuh diri, terutama kalau sedang ada keributan/berantem di dalam keluarga, misalnya saya sedang berantem dengan papa saya. Dari waktu saya masih kecil, mama memang suka sekali menyiksa diri, terutama klo lagi berantem sama papa. Saya ingat klo lagi berantem sama papa, mama suka masuk ke bawah ranjang & tidur di sana, atau bisa juga "menghilang" (tidur di bawah ranjang di kamar lain yang kosong atau pergi naik bajaj sendirian entah ke mana). Saya ingat mama suka mengancam akan bunuh diri dengan minum baygon atau pun gantung diri. Saya tidak tahu harus bereaksi bagaimana, hanya bisa menangis & berdoa semoga bunuh dirinya cuma ancaman saja & tidak jadi kenyataan :(

Apa yang harus saya lakukan kalau hal ini terjadi lagi? Terakhir kali waktu mama saya bilang mau bunuh diri, saya langsung pulang ke rumah & minta maaf, apa yang saya lakukan ini benar? Saya hanya tidak ingin ancaman bunuh diri mama saya ini jadi kenyataan :(

Yang saya tahu kemungkinan penyebab mama gampang putus asa ada beberapa: masalah finansial, rendah diri karena kakinya bintik2 merah karena waktu kecil sakit cacar parah & kakinya tidak bisa disembuhkan. Sampai saat ini saya belum pernah mengajak mama saya ke psikolog karena tidak berani mengajaknya, lagipula mama saya pasti menolak :(

Unknown said...

Vera:
Salah satu terapi depresi adalah seni. Karena obat-obatan tdk akan menyembuhkan depresi, mlh akan menambah beban. Coba anda mulai melakukan gegiatan seni, sperti melukis, bermusik, dan menari.

Shela said...

Saya mengalami hal yang sama. sudah dari kelas 4 sd dan sekarang saya berumur 24 tahun. keinginan untuk mengakhiri itu hampir setiap hari muncul. alasannya paling awal adalah keluarga yg broken home sampai pada tertekan karna terus menerus di bandingkan dengan anak lain hingga sekarang. seperti tidak ada apresiasi dari orgtua untuk semua yg saya lakukan. tidak hanya itu, saya terus menerus diminta mendengarkan mereka tanpa mereka peduli apa yg saya rasa. melukai diri sendiri sering dengan membenturkan kepala karna ketika muncul rasa depresi itu kepala sakit sekali. dan sudah hampir 1 tahun ini setiap malam tdk bisa tidur juga tiba2 menangis tanpa ada penyebab.

Xma said...

Kak ijin copas yah, pengen nge-share ke temen2 yg sekiranya butuh tulisan kakak.aku cantumkan link nya kok, sekali lagi karena aku pengen share aja

Powered by Blogger.