Kemarin
adalah hari bersejarah bagi saya, karena pada akhirnya saya merasa cukup, saya merasa selesai dengan
berbagai terapi psikologis yang saya jalani. Sejak didiagnosa depresi pada
tahun 2014, saya terus menerus mencari bantuan professional untuk menyembuhkan
diri saya.
Terapi
psikologis bukanlah sekedar ngobrol-ngobrol santai dan curhat. Ada banyak
teknik yang digunakan untuk menemukan akar dari masalah pikiran dan perasaanmu,
bahkan tubuhmu. Kadang badan saya demam sehabis terapi.
Rasanya
lelah sekali. Ada satu momen di penghujung 2016, saya menangis sesaat
ketika saya keluar dari ruang dokter yang memberikan surat rujukan ke
psikiater. Saya menangis karena merasa lelah, mengapa saya harus menjalani ini semua? Saat itu saya sedang berada
di Inggris, dokter di sana memberikan saya surat rujukan untuk bertemu
psikiater dan menjalani 9 kali sesi terapi bersama psikolog. Saya lelah, benci
dengan keadaan, rasanya sudah tak sanggup lagi menjalankan sesi-sesi terapi.
Sejak masih
berada di Indonesia pada tahun 2014, sebenarnya
saya pun sudah menjalani terapi yang cukup intens, namun sayangnya harus
terputus-putus karena kendala biaya dan juga saya harus segera pergi ke Inggris untuk
melanjutkan studi master selama 1 tahun. Berikut adalah daftar terapi yang
pernah saya jalani:
Indonesia, 2014 - 2015
1 sesi solution
focus brief therapy
2 sesi cognitive
behavioral therapy (mendapat diagnosa depresi)
9 sesi terapi
transpersonal
5 sesi terapi kinesiologi*
1 kali terapi
neuro linguistik programming*
Inggris, 2017
3 kali solution
focus brief therapy
9 sesi cognitive
behavioral therapy
1 sesi
assessment psikiater rumah sakit (mendapat diagnosa dysthymia)
1 sesi
singkat dengan psikiater di kampus (mendapat diagnosa double
depression)
4 sesi
terapi kelompok psikodrama
1 sesi hipnoterapi*
(juga ditambah antidepressant selama 6 bulan)
Indonesia 2018
1 sesi
solution focus brief therapy
4 sesi kinesiologi
Yang saya
sebutkan diatas belum termasuk 10 kali menelpon layanan curhat (breathing space) dan beberapa kali
menelpon layanan darurat bunuh diri
di Inggris. 8 kali sesi akupuntur karena aliran chi saya katanya lemah
dan berantakan. Ditambah lagi kelas-kelas healing
seperti mindful drawing, biodanza,
consciousness dance, dan berbagai retret
meditasi yang saya tujukan agar bisa mengendalikan pikiran saya. Semua
dengan tujuan untuk mengeksplorasi diri saya sendiri.
Hal ini
juga masih di luar curhat colongan sama temen-temen, menangis di kafe, bahkan
menangis di warung tenda pinggir jalan dan warung burjo sambil diliatin abang
penjaga warung yang lagi masak mie goreng. So
much drama and tears.
Apa yang saya syukuri?
Di luar
segala rasa lelah dan perasaan ingin menyerah, kinii saya bisa menertawakan
perjalanan depresi saya. Saya bersyukur pernah melalui berbagai terapi. Karena
berkat terapi-terapi itu, tidak hanya saya ‘sembuh’ dari gangguan mental yang
saya alami, saya juga menjadi manusia yang jauh lebih baik karena semakin
memahami mekanisme pikiran dan emosi saya. Saya pun jadi bisa membantu
teman-teman saya yang membutuhkan pertolongan dan juga bisa menuliskan
pengalaman saya selama depresi. Ditambah lagi, secara instingtif saya paham
harus merekomendasikan terapi apa atau psikolog mana untuk setiap orang yang
berbeda. Sehingga teman-teman saya tidak perlu melalui perjalanan gonta ganti
terapi seperti saya.
Mengapa saya tidak malu bercerita?
Saya tidak
malu untuk menceritakan bahwa saya pernah depresi atau memiliki gangguan jiwa.
Bagi saya, saat ini adalah era authenticity
dan vulnerability. Era di mana
kita bisa terbuka mengenai diri kita yang sebenarnya dan menerima kekurangan
kita. Saya pun ingin menunjukan ke teman-teman bahwa pergi ke psikolog bukanlah
hal yang memalukan. Kalian tetap manusia yang baik dan hebat walaupun kalian
pergi ke psikolog, sama seperti ketika kalian pergi ke dokter. Biarpun saya 40++
kali bulak balik terapi, saya masih bisa menjadi anak muda Indonesia yang cukup
berprestasi. Saya bisa menamatkan studi master saya di Inggris dengan beasiswa pemerintah, saya juga salah
satu awardee YSEALI di
Amerika Serikat. Saya pun mendirikan beberapa organisasi dan startup, salah
satunya Pijarpsikologi.org. You are not less human if you visit a psychologist.
Saya sama
sekali tidak menganjurkan orang-orang untuk berpuluh puluh kali terapi. Semua
tergantung keadaan finansial, waktu dan kesempatan. Saya mengenal beberapa
teman yang 10 kali terapi sudah jauh lebih membaik. Ada juga yang 3 kali terapi
sudah cukup. Semuanya benar-benar tergantung
kondisi masing-masing. Dan yang lebih utama adalah tergantung kata hati.
Selama ini saya selalu merasa tidak pernah selesai dengan terapi yang saya
jalani. Tetapi pada akhirnya, saya merasa selesai. Saya merasa cukup.
Setidaknya hingga beberapa tahun ke depan saya yakin saya tak perlu ke psikolog
lagi. Etos kerja saya pun membaik, hubungan saya dengan orang-orang di sekitar
saya membaik.
Mungkin
saya membutuhkan banyak terapi karena diagnosa saya double depression dan saya
sudah memiliki pikiran bunuh diri sejak usia 12 tahun. Dinamika psikologis saya
sedikit rumit. Mungkin karena saya juga sangat tertarik mencoba berbagai jenis
terapi. Mungkin juga karena memang begitulah jalan kehidupan yang harus saya
tempuh: agar saya bisa berbagi cerita mengenai terapi-terapi yang pernah saya
jalani, agar saya bisa membantu orang-orang di sekitar saya melalui cerita dan
pengalaman saya.
Kebutuhan setiap
orang berbeda, setiap mental illness
journey sangatlah personal dan unik. Setiap orang yang membutuhkan terapi
akan berjodoh dengan terapisnya masing-masing, asal memang ada niatan untuk
sembuh dan tidak malu untuk meminta pertolongan.
Jadi, apa yang saya dapatkan?
Yang saya
dapatkan adalah perasaan haru dan bahagia karena I survived! Karena bagi saya depresi adalah ujian dari Tuhan yang
menginginkan saya untuk menjadi orang yang lebih baik lagi. Saya jauh menjadi
lebih empati dan bisa merasakan perasaan orang lain setelah saya depresi. Saya
pun lebih berhati-hati dalam berbicara karena saya sudah mengalami sendiri
betapa kata-kata dapat menghancurkan jiwa. Saya jadi mengenal siapa kawan dan
siapa lawan yang sessungguhnya saat saya depresi. Karena saat saya berada di
titik terendah hidup saya, di situlah saya tahu siapa yang benar-benar ada
untuk saya.
Sekian dulu
cerita saya. Semoga teman-teman yang sedang mengalami turbulensi emosi dapat
menemukan jalan menuju penyembuhan.
Selamat
berproses menjadi diri terbaikmu!
Penulis, Regisda Machdy Fuadhy S.Psi., M.Sc
Alumni
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM)
Alumni
Global Mental Health University of Glasgow
Co-founder
Pijarpsikologi.org
*Terapi
seperti NLP, Kinesiologi, dan bahkan hipnoterapi masih dianggap pseudoscience.
Biarpun saya memiliki latar belakang psikologi di S1 dan S2 saya. Saya cukup
terbuka mencoba berbagai hal. Bagi saya, mencoba terapi alternatif dalam hal
kejiwaan sama seperti mencoba terapi alternatif pada penyakit fisik seperti
bekam, akupuntur atau bahkan batu celup ponari :P.
n.b. Foto tahun 2017 saat berada di Inggris. Foto di atas menunjukan bahwa orang depresi juga bisa keliatan ceria.
42 Kali Bulak-Balik ke Psikolog, Apa yang Saya Dapatkan?
Reviewed by regismachdy
on
July 01, 2018
Rating:
1 comment:
Boleh tahu kalau di indo tempat terapinya dimana saja? Kisaran biayanya berapa?
Post a Comment