Buku ini adalah suara
yang mewakili keresahan Muslim dan kebingungan non-Muslim atas citra Islam masa
kini.
Ditulis oleh seorang diplomat Arab, ia resah dan ingin menyampaikan surat
kepada anaknya (dan sebanyakan mungkin generasi muda Muslim) untuk memahami
peran mereka di abad ini.
Dengan format surat berseri yang ditujukan kepada anaknya, membaca buku ini seperti diberikan nasihat dan pemahaman tentang apa yang terjadi dengan Islam saat ini oleh seorang ayah.
Setidaknya, ada 5 hal
yang saya pelajari dari buku ini:
- Penulis menasihati anaknya agar menjadi umat muslim moderat yang turut aktif dalam menunjukan citra islam yang damai. Penulis tidak setuju dengan umat Islam yang hanya mampu bilang “Islam is the religion of peace” saat ada aksi teroris yang mengatasnamakan Islam, namun tidak pernah berbuat apa-apa. Atau tetap menjadi muslim ekslusif yang enggan bergaul dengan agama lain. Untuk itu, dalam suratnya, ia meminta anaknya untuk turut aktif dalam aktivitas pedamaian, untuk memperbaiki citra Islam.
- Dia berharap anaknya lebih berpikiran terbuka, tidak menutup diri dan tidak terjebak pada mentalitas “barat” adalah sumber segala perilaku imoral. Padahal kenyataanya, banyak sekali dana yang digelontorkan pihak Barat untuk menampung Muslim korban perang seperti di Iran atau Suriah. Hingga populasi umat Islam bisa bertumbuh lagi di Eropa karena imigran tersebut. Mereka saja sudah membantu saudara Musilm kita, lalu apa yang bisa kita lakukan untuk dunia?
“Barat” tidak bisa disederhanakan sebatas seks bebas dan narkoba. Faktanya, sudah banyak penduduk Muslim di negara barat, seperti imigran korban perang yang ditampung mereka, dan juga orang-orang barat yang mengunjungi negara-negara Islam. Generasi muda Muslim harus bisa berpikir bagaimana beriman di tengah dunia yang semakin ‘menyatu’.
- Penulis berharap anaknya untuk berpikir kritis. Penulis tidak ingin anaknya beriman dengan buta. Ia ingin anaknya beriman dengan kritis. Apalagi di zaman seperti ini di mana anak-anak semakin bebas mengakses informasi, iman secara buta malah akan memperkeruh kehidupan bernegara karena tidak ada ruang untuk saling memahami. Penulis juga meminta anak-anakya untuk mempelajari agama lain, karena bagaimana mungkin bisa beriman dengan kokoh jika tak tau mana yang sebenarnya “benar”.
- Penulis tidak menyukai “ulama-ulama” yang terus menerus mengkampanyekan bahwa seluruh dunia harus menjadi Islam, dengan cara yang agresif. Mentalitas seperti inilah yang membuat umat agama lain takut dengan umat Islam karena mereka merasa bahwa Umat Islam ingin menghapus mereka dari dunia. “Ulama-ulama” seperti itu membuat citra Islam semakin buruk. Dan ia tidak ingin anaknya menjadi “ulama” seperti itu.
“We often insist on our particularity. We love the idea of being unique. We imagine that we are the only people who have ever tasted suffering. We fantasized that only we understand spirituality and that only we have a historic purpose”
Renungan pribadi: saya kira, pandangannya sangat sesuai dengan
apa yang ada di masyarakat kita saat ini, di mana “ulama-ulama” menghina agama
lain dengan toa yang kedengaran satu RW (setidaknya di lingkungan tempat
tinggal saya). Penceramah di daerah tempat tinggal saya juga sering teriak
bahwa Islam harus jaya di seluruh Indonesia, sekali lagi, dengan toa yang dapat
menjangkau satu RW.
- Penulis juga menyampaikan pesan kepada anaknya agar tidak menjadi umat Islam yang victim blaming. Banyak umat Islam yang memiliki mentalitas “kami diserang”. “It is a fiction that our faith is under attack” tulisnya di salah satu surat untuk sang anak. Banyak umat Muslim yang merasa Islam sedang diserang. Diserang oleh siapa? Mentalitas seperti menjadikan segelintir umat Islam menjustifikasi sikapnya untuk berperilaku kasar seenaknya. Untuk anti bergaul terhadap agama lain, karena agama-agama lain berusaha membuat umat Islam pindah agama. Mentalitas ini benar-benar mentalitas yang tidak berdasar.
Hal-hal tersebut
adalah hal yang saya pelajari dan refleksikan dari semua nasihat Omar untuk
anaknya.
Yang saya suka dari
penulis adalah ia sangat jujur dan cukup berani membahas hal-hal yang dianggap sensitive di kalangan umat Islam. Ia
juga tidak ragu untuk mengakui kelemahannya sebagai manusia, bahwa ia pernah depresi
lebih dari tiga tahun karena apa yang ia Imani, Islam, banyak yang tidak sesuai
dengan keadaan dunia. Hingga pada akhirnya dia menemukan imannya kembali dan
perlahan keluar dari depresinya.
Bagi saya, buku ini
mewakili suara saya, sebagai seseorang yang terlahir di keluarga Muslim namun
memiliki banyak kekhawatiran dengan citra Islam yang berkembang di masyarakat.
Buku ini mengajak
pembaca, teman-teman Muslim khususnya, untuk evaluasi besar-besaran akan citra
yang kita tunjukan selama ini.
Insight: Letters to A Young Muslim
Reviewed by regismachdy
on
July 07, 2018
Rating:

No comments:
Post a Comment